Lewati navigasi

Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah kejadian sederhana. Seorang penulis berbakat dan amat produktif  —yang lebih suka menyamarkan diri dengan nama Kopral Cepot-— tadi malam menyiapkan sebuah tulisan berjudul “Indonesia Duaribuempatlima“. Bahasanya gampang dicerna dan pemikirannya runtut. Amat menarik, dan segera saja banyak orang membaca dan memberi komentar.

Ia tidak sedang meramal bagai ahli nujum dengan tulisannya itu. Tetapi ia sedang melakukan kajian pandang jauh ke depan, dan tampaknya ia tak bahagia dengan itu. Hal-hal seperti itu yang dipelajari orang-orang di kulaiahan ketika berbicara tentang pembangunan.

Hal-hal itu juga yang dirumuskan dengan dilengkapi angka-angka oleh orang-orang seperti   Marshall Green yang segera saja dalam waktu singkat mendapat reaksi dari belahan bumi lain di Timur (Sovyet) dengan perluasan gerakan komunis meliputi Eropa Timur, Asia, dan yang pada limit waktu singkat pula mendapat reaksi balik dari Amerika untuk sebuah permulaan perang dingin.

Di negara-negara yang “baru lahir” pasca Perang Dunia II di sekitar Asia dan Afrika dan begitu juga Amerika Latin, orang juga (tempohari) berfikir seperti Kopral Cepot: membayangkan sesuatu kemajuan yang lebih cepat, mengobati luka-luka perang, memberantas TBC, mendirikan sekolah, bergotong royong mengalirkan arus sungai ke persawahan, dan lain-lain, termasuk cakap-cakap sesama pemimpin bangsa baru. Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 (benar gak tahunnya ini, sudah lupa), bukanlah sebuah hayal mirip Lebay Malang di Sumatera Timur (mirip gak ini dengan Kabayan?), melainkan pernyataan tegas atas nama tekad politik dan harga kedaulatan.

Ia memang tidak sedang menghitung kerugian nasional akibat kontrak karya yang ngawur di setiap proyek pertambangan dan energi yang “digadaikan” ke multinational corporate asing. Ia juga tidak sedang menggunakan mesin hitung untuk menentukan apa sebab semua BUMN bangkrut sementara para pejabatnya kaya raya.

Meski tidak tegas terlihat, tetapi Kopral Cepot sedang “berselancar” secara eklektif di sela semua teori tentang kemaslahatan masyarakat dan negeri manusia, termasuk menimang perspektif modernisasi, perspektif dependensi, perspektif sistem dunia, dan menarik saripatinya untuk Indonesia. Ya, Indonesia yang ia bayangkan, tentu saja. Ia memang subjektif, harus diakui. Tetapi itu semangat keindonesiaan yang menyala dan hampir membakar dirinya 100 %.

Mengutip Orang Amatiran dan Membandingkan Dengan Kesungguhan Para Pionir

Mula-mula ia bercerita tentang Marwah Daud Ibrahim yang pernah mengajukan 4 langkah meraih mimpi Indonesia 100 tahun :

  • define: apa yang kita inginkan ke depan. 
  • discover: menemukan potensi apa yang dimiliki bangsa ini.
  • design: menetapkan rencana-rencana pencapaian dari langkah define untuk selanjutnya dilaksanakan.
  • destiny: serahkan semuanya kepada takdir Tuhan.

Catatan itu telah terhenti sampai di situ, dan Marwah Daud Ibrahim pun “hilang”.  Kopral Cepot tak kuasa menyembunyikan rasa kecewanya. Marwah Daud Ibrahim seakan sudah pasti dari kalangan orang bercita-cita pendek dan di republik ini dan ketika dansa politiknya tersandung, dia pun “nyepi” seiring meredupnya “iramasuka“. Pejuang yang pernah kucatat tidak seperti itu. Maafkan aku berkata seperti ini, ibu Marwah Daud Ibrahim. Mohon maafku juga kepada Kopral Cepot yang rada kucaci menokohkannya (Marwah Daud Ibrahim)  saat menghiasi halaman-halaman blognya yang anggun di tengah malam sampai dini hari.

Sejuta cerita indah mengenai Romo Mangun Wijaya tak cuma soal “Burung-Burung Manyar“. Kopral Cepot juga mengutip pemikiran tokoh Kali Code ini. Gaya mitis Mangun Wijaya dalam banyak hal memang menemukan praksis-praksis empirik yang bersesuaian. Terpujilah namanya.

Selanjutnya ia menyebut Andreas Harefa. Mungkin ingin ditegaskan bahwa orang ini sudah bosan cakap-cakap,  lalu dengan tegar berdiri di atas filosofi yang kuat hingga jejaknya pun tak oleng, karena —beda dengan ibu Marwah Daud Ibrahim— frustrasi tak mungkin singgah dalam benak orang tegar ini.

Indonesia 3 Opsi

Kopral Cepot seakan ingin melakukan pooling pendapat untuk 3 opsi (Indonesia Bangkrut, Indonesia Bubar, Indonesia bangkit Berjaya) yang ia tawarkan. Dari penempatan ketiga opsi itu secercah pesimisme sudah digambarkannya dengan amat jelas.

Indonesia Bangkrut. Tanda-tandanya sudah amat jelas. Kebangkrutan tidak cuma dalam dimensi ekonomi yang kemungkinan saja menempati urutan terakhir dalam sebuah daftar panjang di benak Kopral Cepot.

Indonesia Bubar. Kebenaran opsi ini makin terasa jika didekati dari sudut paling baik di antara pilihan konotatif atau denotatif. Hanya bagian-bagian wilayah tertentu Jakarta yang akan tenggelam (bubar), yang lain tidak, bukan? Tarakan juga segera redup manakala orderan usai, sebagaimana Poso dan Acheh dulu. Tetapi jika tahun 2045 itu “dibangunkan” Mr Mohammad Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan dibawa berkeliling Indonesia setelah diminta mewawancarai Presiden, Wakil Presiden, seluruh Menteri, seluruh pegiat blog, seluru pemain bola, seluruh artis dan penyanyi, seluruh wartawan, seluruh rektor, seluruh fabrikan, seluruh dirut BUMN, seluruh penggarap tanah, seluruh maling, seluruh preman, seluruh koruptor, seluruh wts, dan akhirnya seorang marhaenis, maka Mr Mohammad Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dipercaya akan “buru-buru  kembali ke kubur” karena yakin sudah tak ada lagi yang perlu mereka “layat” di boemi “takziah” bernama Indonesia dengan identitas yang sudah tergadai.

Indonesia Bangkit Berjaya. Pada saat P4 dianggap “setara agama” klobotisme pemujaan hayali adalah resep peradaban zaman itu. Megalomania berkembang dalam perulangan yang begitu ramai. Orang mau segera saja melampaui Amerika sementara kakinya terjerat “blankon sobek” (Pak Harto tak pernah mau buka Kongres Bahasa dan Kebudayaan Etnis lain, sedangkan untuk Kongres Bahasa dan Kebudayaan Jawa beliau akan datang pakai Blankon lengkap dengan keris di belakang pinggang dan bertitah dengan bahasa Jawa paling halus. Dan beliau merasa pantang dan tersinggung berat jika disebut lebih rendah tingkat pengatahuan dan kebathinan kejawenannya dari Ali Moertopo).

Tak begitu risih orang menirukan (bukan dialek) gaya bahasa pribadi Pak Harto yang sering bukan cuma aneh, namun kerap pula menyalahi tata bahasa Indonesia (“daripadanya lebih banyak daripada yang lain”: ini ungkapan ejekan Nurcholis Madjid satu ketika setelah kejatuhan Orde Baru). Kenanglah apa resep Harmoko, atau rewind-lah dalam memory saat seorang Menteri asal Tanah Batak (gak usah disebut namanya ya) menirukan gaya bahasa pak Harto dengan begitu “menggelikan”.

Kisah seorang petani miskin

Di sebuah kampung terpencil seorang petani tua bermukim. Orang heran ketika ia bergegas ke ibu kota Kecamatan suatu pagi yang dingin.  Kebanyakan dari perjalanan ini ditempuhnya dengan jalan kaki, karena memang transport yang memungkinkan hanya kedua belah kaki, dan masyarakat seluruhnya pun begitu. Memang saat seorang pejabat Kabupaten mengunjungi mereka karena bencana, sebelumnya digalang gotong royong untuk menimbun (dengan pasir) bidang-bidang jalan yang becek dan memperbaiki jembatan kayu yang keropos agar pejabat itu mendapatkan “haknya” menari-narikan (dance) kesombongannya di atas penderitaan rakyatnya sendiri.  Pejabat ini bukan cuma minta dicarikan buah durian paling enak, tetapi saat ia berkeringat dan gerah, sejumlah orang terpaksa menggotong bergalon-galon air mineral untuk mandi agar ia nyaman ganti baju. Tetapi isterinya tak puas dengan jumlah air mineral yang terbatas yang untuk keperluan “permaisuri negara” ini diulang lagi pengangkutan air mineral dengan pergantian personal warga kampung.

Ia membawa setandan pisang. Katanya, itu oleh-oleh tulus dan ihlas sebagai rasa berterimakasih kepada pemerintah berhubung irigasi di kampungnya diperbaiki meski usianya cuma satu tahun (rusak, diduga karena sebab konstruksi buruk). Tiba di ibukota Kecamatan ia pun bertanya kepada siapa saja yang ia temui: “di mana rumah pemerintah?”

Akhirnya setelah mengalami banyak penyesatan informasi dari banyak orang yang ditanyainya, seorang wartawan mingguan yang prihatin dan mafhum mengantarkannya ke kantor Camat. Camatnya sedang menerima tamu, dan pak tani diminta menunggu. Sambil menunggu ia pun terganggu oleh siaran tv tentang Ruhut Sitompul yang bertengkar dengan Gayus Lumbuun dan dengan penggunaan bahasa yang tak lazim di kampungnya yang damai.

Ia merasa malu dan menundukkan kepala karena Ruhut Sitompul menyebut “bangsat” kepada lawan bicaranya. Saat menundukkan kepala itu, matanya menyapu sekilas koran lusuh yang tercecer di lantai persis di bawah kursi di depannya. Dia pungut dan…. alangkah kagetnya dia. Antasari yang ia tahu anti korupsi sudah di penjara rupanya. Yusril Ihza Mahendra sudah “menendang” Hendarman Supandji, Jaksa Agung RI ke 22. Ada polisi di tahanan karena tuduhan korupsi, namanya kebetulan sama dengan nama ponakannya di kampung (Susno) yang tak kesampaian meraih pendidikan kelas VI SD. Ada Kapolri yang sangat tegar “menembaki”. Ada SBY yang saling hormat dengan sikap kesamaptaan paling sempurna dengan 2 orang berpakaian serba putih (ia tak tahu snapshot itu pelantikan KSAL dan Panglima TNI). Juga Bambang Wijayanto dan seorang lagi yang ia sukar membaca namanya yang keduanya masuk final untuk proses pemilihan Ketua KPK.

Satu lagi dalam  lembaran koran lusuh itu ia temukan dengan jelas, SBY mau Presiden lagi (dalam terjemahannya terhubung dengan Bung Karno yang ingin Presiden seumur hidup. Tak ada ia temukan informasi tentang bantahan SBY soal perpanjangan masa jabatan dalam koran lusuh itu.

“Bung Karno dulu banyak memenjarakan teman seperjuangan setelah ia jadi penguasa, apa yang ini akan sama juga?” begitu pertanyaan yang muncul dalam hatinya sekelebat).

Dengan kekecewaan yang amat berat pak tani yang malang itu pun mengurungkan niatnya bertemu “pemerintah” itu, dan pulang. Pisang oleh-oleh diberikan saja cuma-cuma kepada satpam yang “menguliti” tubuh kurusnya lewat pandangan tajam menyelidik penuh perasaan jijik.

Nah, Kopral Cepot yang terhormat. Pak tani itu belum separah seorang pengguna koteka di Indonesiaku yang lain.  Dia hanya amat sederhana, lugu dan jujur memahami “pemerintah” sehingga dianggapnya “pemerintah” itu adalah nama buat seseorang yang amat baik hati hingga mau membangun irigasi di kampungnya meski usianya (irigasi itu) hanya setahun. Ia dengan keterbelakangannya menganggap “pemerintah” itu bukan sistem dan bukan haknya. Dalam keluguannya itu “pemerintah” cuma sesosok volunterist seperti seroang raja atau sosok lain yang mirip tukang bagi-bagi kain sarung saat akan pemilu.

Lalu, modalitas apa untuk bangkit berjaya???????

One Comment

  1. Hatur tararengkyu Pak Gerep… Bpk telah menambah kesadaranku tentang “Indonesia”.

    Lalu, modalitas apa untuk bangkit berjaya??????? kebangkitan ditandai dengan kematian krn setiap hidup akan merasakan mati sementara hari ini sepertinya “mati enggan hidup tak mau” …

    Sekali lagi hatur tararengkyu pencerahannya 😉


Tinggalkan komentar